Di bumi ini pula manusia ditempatkan pada wilayah dengan keadaan alam yang berbeda, sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam bentuk fisik, makanan, dan bahasanya, berbeda pula adat istiadat, kebiasaan, dan budayanya.
Allah Ta’ala maha luas kekuasaan serta ilmu-Nya, maha luas rahmat-Nya, maha luas ampunan-Nya.
﴾٨٠﴿ وَسِعَ رَبِّي كُلَّ شَيْءٍ عِلْماً أَفَلاَ تَتَذَكَّرُونَ
Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (darinya)? (Al-An’am [6]: 80).
﴾١١٥﴿ وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah [2]: 115)
﴾٣٢﴿ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. (An-Najm [53]: 32)
Dari keluasan lahirlah perbedaan, sebuah sunnatullah yang tidak bisa dielakkan. Lantas, apakah perbedaan itu diciptakan oleh Allah tanpa maksud dan tujuan? Apakah perbedaan mesti menjadi sumber perselisihan dan permusuhan? Tentu saja tidak! Allah telah menegaskan:
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu (yaitu para rasul), dan untuk (perbedaan pendapat) itulah Allah menciptakan mereka, kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan, “Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (Hud [11]: 118-119)
Justru di sinilah peran Islam dalam mengikat semua perbedaan itu menjadi indah dalam persatuan dan persaudaraan. Persaudaraan yang diikat oleh iman dan takwa kepada Allah Ta’ala.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat [49]: 13)
Perbedaan itu merupakan rahmat dari Allah, menjadi indah untuk terjadinya ta’aruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), dan ta’awun (saling membantu) di antara satu dengan yang lainnya.
Demikian pula dengan ajaran Islam. Kita tidak bisa membayangkan andaikata Allah menjadikan syariat agama ini sama dan tidak ada yang boleh berubah.
Demikian pula dengan ajaran Islam. Kita tidak bisa membayangkan andaikata Allah menjadikan syariat agama ini sama dan tidak ada yang boleh berubah.
Bayangkan jika si sakit diperlakukan sama dengan si sehat, si lemah sama dengan sikuat, si muallaf sama dengan faqih, tentunya orang akan mendapatkan banyak kesulitan dalam beragama ini.
Sungguh Maha Bijaksana Allah yang menjadikan dari syariat ini hal-hal yang jelas, tetap, dan tidak boleh berubah, yaitu masalah-masalah prinsip (ushul). Sedangkan masalah-masalah yang bersifat cabang (furu’), seperti budaya (‘urf) atau masalah kemaslahatan umum (mashalihul mursalah), maka Allah akan memberikan kelonggaran untuk terjadinya perbedaan. Dalam wilayah inilah terbuka kesempatan terjadinya perbedaan pandangan para ulama dan mujtahid.
Keluasan Pandang Rasul
Rasulullah merupakan teladan dalam kehidupan kita. Beliau telah mengajarkan bagaimana menghadapi masyarakat yang berdeda. Suatu saat beliau ditanya oleh seorang sahabat, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, “Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama?”
Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Sahabat bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.”
Sahabat bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Beliau menjawab, “Haji mabrur.”
Rasulullah merupakan teladan dalam kehidupan kita. Beliau telah mengajarkan bagaimana menghadapi masyarakat yang berdeda. Suatu saat beliau ditanya oleh seorang sahabat, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, “Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama?”
Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Sahabat bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.”
Sahabat bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Beliau menjawab, “Haji mabrur.”
Tetapi pada kesempatan yang lain, ketika pertanyaan yang sama disampaikan kepada beliau oleh sahabat yang lain, jawaban beliau ternyata berbeda dengan apa yang telah disampaikan sebelumnya.
“Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling baik?”
“Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling baik?”
Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya, kemudian berbakti kepada kedua orang tua, kemudian jihad di jalan Allah.” (Riwayat Bukhari)
Dalam kasus tersebut kita mendapatkan pelajaran bagaimana seharusnya memberikan jawaban kepada seseorang sesuai dengan kualitas pemahaman serta ke-Islaman mereka. Tampaklah bagaimana keluasan cakrawala pandang serta kebijaksanaan Rasulullah.
Salafush Shaleh
Imam Syafi’i berkata, “Menurutku boleh jadi pendapatku benar, tetapi ada kemungkinan salah, dan pendapat orang lain yang menurutku salah, tetapi ada kemungkinan benar.”
Imam Syafi’i memiliki pendapat yang berbeda dengan Imam Abu Hanifah dalam masalah qunut Subuh. Walaupun berbeda pendapat, Imam Syafi’i tetap menghargai dan menaruh hormat kepada Imam Abu Hanifah.
Imam Syafi’i berkata, “Menurutku boleh jadi pendapatku benar, tetapi ada kemungkinan salah, dan pendapat orang lain yang menurutku salah, tetapi ada kemungkinan benar.”
Imam Syafi’i memiliki pendapat yang berbeda dengan Imam Abu Hanifah dalam masalah qunut Subuh. Walaupun berbeda pendapat, Imam Syafi’i tetap menghargai dan menaruh hormat kepada Imam Abu Hanifah.
Suatu hari Imam Syafi’i pernah shalat Subuh di masjid dekat kediaman Imam Abu Hanifah tanpa qunut. Hal itu beliau lakukan untuk menghormati Imam Abu Hanifah yang menolak qunut Subuh. Padahal, Imam Abu Hanifah telah wafat tepat pada saat Imam Syafi’i lahir.
Imam Yunus bin Abul A’la As-Shadafi menceritakan, setelah dirinya selesai berdebat dengan Imam Syafi’i tentang suatu masalah agama, beberapa lama kemudian Imam Syafi’i mendekati Imam Yunus dan menggandeng tangannya sambil berkata, “Hai Abu Musa, kita sepatutnya tetap bersaudara meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalahpun.”
Sungguh indah apa yang diajarkan oleh syaikhul Islam Ibnu Thaimiyah dalam Majmu’ Fatawa. “Seandainya setiap kali dua orang Muslim yang berbeda pendapat dalam satu masalah itu harus saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah di antara kaum Muslimin.”
Mengapa Berpikir Sempit?
Rasul dan para ulama salaf kita telah memberikan teladan yang sangat jelas tentang keluasan pandangan dan kelapangan hati dalam menyikapi berbagai perbedaan. Alangkah indahnya seandainya kaum Muslimin hari ini mampu mengikuti jejak mereka dalam memandang persoalan-persoalan furuiyah dan ijtihadiyah.
Ukhuwah tetap terjaga walaupun mereka beda-beda negeri tempat tinggal, suku, adat istiadat, madzhab, atau organisasinya. Karena sesungguhnya mereka masih terikat pada ikatan yang sama dalam persoalan-persoalan ushul (pokok).
Rasul dan para ulama salaf kita telah memberikan teladan yang sangat jelas tentang keluasan pandangan dan kelapangan hati dalam menyikapi berbagai perbedaan. Alangkah indahnya seandainya kaum Muslimin hari ini mampu mengikuti jejak mereka dalam memandang persoalan-persoalan furuiyah dan ijtihadiyah.
Ukhuwah tetap terjaga walaupun mereka beda-beda negeri tempat tinggal, suku, adat istiadat, madzhab, atau organisasinya. Karena sesungguhnya mereka masih terikat pada ikatan yang sama dalam persoalan-persoalan ushul (pokok).
Rasanya kita perlu meluaskan cakrawala pandangan kita agar dapat memahami dan menerima perbedaan secara arif. Sehingga berbagai perbedaan yang bersifat ijtihadi tidak lagi menjadi sumber perpecahan, tetapi menjadi kekayaan dalam khazanah ilmu umat Islam.
Di samping keluasan wawasan, yang tidak kalah penting adalah kerendahan hati dalam melihat perbedaan yang ada pada orang lain, sehingga kita terbebas dari sikap ujub dan takabur yang sangat dibenci Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (An-Najm [53]: 32) Wallahu a’lamu bish shawab.
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (An-Najm [53]: 32) Wallahu a’lamu bish shawab.
info: majalah.hidayatullah.com/