“Tidak Aku ciptakan jin dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz –Dzariyat: 56 )
Manusia adalah sebaik-baik makhluk. Allah memberikan kelebihan, kemampuan terhadap setiap manusia dan perbedaan dibanding makhluk ciptaan Alloh lainnya di alam semesta jagad raya ini yaitu, berupa akal&hati. Namun, tidak sedikit dijumpai manusia memiliki akal dan hati namun, akal dan hatinya tidak dipergunakan untuk berpikir dan bertindak bahkan Alloh memberikan perumpamaan lebih buruk dari binatang, hal ini sesuai dengan firman Alloh SWT dalam al-qur‘an :
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS.Al-A’raf (7) :179)
Tau akan tetapi tidak bisa..
Mengerti, akan tetapi tidak bisa..
Sebuah ilmu yang telah dimiliki oleh seseorang bahkan telah dipahami sebagai sebuah pengetahuan dan keyakinan dalam diri, namun tidak bisa untuk dikerjakan atau dilakukan.
Tau dan mengerti bahwa ibadah sholat lima waktu itu tidak hanya sekedar wajib melainkan sebuah kebutuhan, akan tetapi tidak bisa melaksanakannya setiap waktu setiap harinya
Tau dan mengerti menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, akan tetapi tidak bisa bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu serta memperbaiki kekurangan dirinya
Tau dan mengerti hakikat infak, sedekah membuka pintu rezeki seseorang, akan tetapi tidak bisa berinfak, bersedekah dalam setiap hari nya.
Tau dan mengerti setiap membaca Al-Qur’an itu mendapat ganjaran pahala, akan tetapi tidak bisa membacanya di setiap hari selama waktu 24 jam
Tau dan mengerti hal-hal yang dilarang, haram dan berpotensi dosa, akan tetapi tidak bisa menghindarinya.
Jika sudah seperti itu, bermanfaatkah ilmu yang diketahui bagi dirinya tersebut??
Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain??
Dimanakah hikmah dari keimanan seseorang yang mengaku beriman, namun tidak bisa menggapai derajat taqwa??
Suatu hal yang sia-sia, celaka dan merugi..Maka tidak heran Alloh SWT kerapkali mengingatkan kepada hamba-Nya dalam beberapa firman-Nya dalam Al-Qur’an :
Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shaleh, dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran."
(QS. Al-'Ashr [103] : 1-3).
Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu hai manusia dan jin. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? [QS. Ar-Rahman(55) : 31-32]
Di dalam Al-Qur’an pula, Alloh sering bersumpah. Alloh bersumpah dengan benda-benda, misalnya Wasy Syamsi. Demi Matahari (QS. Al-Syams 1).
Alloh bersumpah dengan waktu, misalnya Wadh Dhuhâ. Demi waktu dhuha. Wallaili idzâ sajâ. Demi malam apabila mulai gelap (QS. Al-Dhuha 1-2).
Alloh juga bersumpah dengan jiwa: Wanafsiw wa mâ sawwâhâ. Demi jiwa dan yang menyempurna-kannya (QS. Al-Syams 7).
Namun, Alloh paling sering bersumpah dengan waktu: Lâ uqsimu bi yaumil qiyâmah. Kami bersumpah dengan hari kiamat. (QS. Al-Qiyamah 1), Wallaili idzâ yaghsyâ, wannahâri idzâ tajallâ. Demi malam apabila gelap dan demi siang apabila terang benderang (QS. Al-Lail 1-2). Dalam surat Al-’Ashr ini Alloh bersumpah dengan waktu: Wal-’Ashr.
Menurut Al-Ghazali hikmah adalah salah satu dari unsur akhlaq mulia selain keberanian, kejujuran dan keadilan. Maka berakhlaq mulia dalam Islam itu bukan sekedar berperilaku baik, tapi juga berilmu tentang kebaikan, bersikap berani menyatakan kebenaran, berlaku adil terhadap segala sesuatu alias tidak zalim. Agar dapat memiliki hikmah, keberanian, kejujuran dan keadilan diperlukan suatu ilmu. Sebab berani dan adil tanpa ilmu bisa salah jalan alias sesat. Orang berilmu yang tidak jujur, ilmunya tidak menjadi manfaat. Demikian pula kekuatan dan manfaat ilmu dapat dilihat ketika seseorang itu dapat membedakan antara kejujuran dan kebohongan, antara haq dan batil, antara baik dan buruk. Jadi hikmah menurut al-Ghazali adalah keadaan kejiwaan seseorang yang dapat mengetahui yang baik dari yang buruk benar dalam segala perbuatan. (Ihya III, hal.54).
Semoga kita semua selalu diberikan kekuatan untuk selalu menuntut ilmu yang dapat menjadi bermanfaat bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, agar terhindar dari pernyataan“Tau dan mengerti, akan tetapi tidak bisa”
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (QS.3:190)
Dikisahkan suatu malam Rasulullah SAW meminta izin kepada istrinya, Aisyah, untuk shalat malam. Dalam shalatnya, beliau menangis. Air matanya mengalir deras. Beliau terus beribadah hingga sahabat Bilal mengumandangkan azan Subuh. Beliau masih menangis saat Bilal datang menemuinya. ''Mengapa Tuan menangis?'' tanya Bilal. ''Bukankah Alloh telah mengampuni dosa-dosa Tuan baik yang lalu maupun yang akan datang?''
Nabi menjawab, ''Bagaimana aku tidak menangis, telah diturunkan kepadaku malam tadi ayat ini “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri atau duduk atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka'.'' (QS.Ali 'Imran: 190-191).
Selanjutnya Rasullullah berkata: "Alangkah rugi dan celakanya orang-orang yang membaca ini dan tidak memikir dan merenungkan kandungan artinya"
****
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal (QS.Al-Anfaal (8):2)
Biasakanlah diri Anda dengan kemauan, bukan sekedar keinginan yang bersifat abstrak. Tetapi sesuatu yang dapat diwujudkan dan terlihat oleh diri Anda dan orang lain. Dari sanalah terbentuk ‘nilai’ Anda!