Diskriminasi Buruh Migran



Indonesia dikenal sebagai negara pengirim buruh migran dengan jumlah terbesar untuk beberapa negara penerima, khususnya Arab Saudi di Timur Tengah dan Hong Kong, Taiwan di wilayah Asia.


Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI),  jumlah buruh migran pada tahun 2011 ada sekitar 3,27 juta orang. Sementara menurut Migrant Care, jumlah buruh migran sudah mencapai 4.5 juta orang. Yang mana 80% diantaranya adalah buruh migran perempuan. Dari jumlah itu 70% nya bekerja di sektor rumah tangga(informal). Mengapa sektor ini lebih banyak didominasi oleh kaum perempuan? Tentu saja hal ini tidak bisa kita lepaskan dengan faktor  yang melatar belakangi proses migrasi itu sendiri.


Faktor ekonomi menjadi salah satu faktor pendorong utama. Meroketnya harga kebutuhan pokok, mahalnya biaya hidup yang tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan masyarakat telah memaksa perempuan Indonesia untuk bekerja di luar negeri. 


Menjadi buruh migran menjadi solusi yang paling tepat karena memang tak ada yang pilihan lain yang lebih baik. Sebab tak ada jaminan untuk hidup sejahtera di tanah air. Maka dengan iming-iming gaji tinggi dan memperoleh pekerjaan  nyaman, berbondong-bondonglah mereka ke luar negeri meski dengan resiko dan ancaman kematian.


Ironisnya apa yang menjadi harapan di awal keberangkatan tak menjadi kenyataan. Tak semua daripada BMI kita yang bernasip manis dengan mendapatkan majikan baik, pekerjaan dan gaji sesuai dengan perjanjian di kontrak yang telah ditandatangani sebelum keberangkatan. Sebaliknya, hak-hak mereka tak terpenuhi, menjadi korban ekploitasi dan kekerasan masif semenjak pra keberangkatan, di negera tujuan hingga fase kepulangan. Lagi-lagi minimnya perlindungan dari pemerintah Indonesia menjadikan pekerja migran perempuan rentan menjadi korban praktek pelanggaran HAM di hampir seluruh proses migrasinya.


Fenomena kekerasan dan  diskriminasi terhadap buruh migran perempuan erat sekali kaitannya dengan minusnya pemahaman dan salah  penafsiran oleh sosial masyarakat kita terhadap isu jender.


Apakah sebenarnya jender itu? Mungkin banyak daripada kaum perempuan sendiri yang masih merasa asing dengan frasa ini. Tidak sadar atau belum  sepenuhnya mengerti, meskipun kita pernah atau malah sedang menjadi viktim dari salah satu bentuk ketidak adilan jender itu.


Kata Gender secara etimologi berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256).
Sedangkan pada ranah umum jender lebih sering diartikan sebagai  perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa jender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.


Dalam kontruksi kultur patriarki kita, jender hanya ditafsirkan sebagai isu perbedaan jenis kelamin, antara lelaki dan perempuan saja. Paradigma inilah yang menjadi sumber semua bentuk ketimpangan jender di lapangan.


Dalam ranah publik, beberapa bentuk diskriminasi jender yang terjadi menimpa perempuan khususnya buruh migran perempuan merupakan variasi dari dominasi kekuasaan, dari si kuat kepada si lemah.. Di mana perempuan disterotype/dilabel negatifkan sebagai sosok yang lemah sehingga lebih rentan menjadi korban kekerasan(violence), diskriminasi dan subordinasi mupun marginalisasi.


Bagi buruh migran perempuan, pemahaman yang keliru ini berakibat sangat fatal. Dalam perjalanan proses migrasinya, mereka tak pernah lepas dari ancaman kekerasan psikis dan fisik, pemerasan, ekploitasi, pemerkosaan dan pembunuhan.
Semua adalah merupakan dampak dari kesenjangan relasi antara lelaki dan perempuan yang dikonstruksikan salah oleh masyarakat.


Kita tentunya masih mengingat baik beberapa kasus ekploitasi dan penyiksaan yang menimpa Sumiyati, Kikim Komalasari, Ruyati Binti Sapudi di Arab Saudi, Ceriyati dan Nirmala Bonat di Malaysia. Cerita tragis yang mereka alami telah menggegerkan publik tanah air bahkan dunia internasional. Mereka hanyalah beberapa nama korban pelanggaran HAM yang sempat terekpos oleh media. Kenyataan di lapangan, ribuan bahkan jutaan pekerja migran di luar negeri tengah mengalami nasip dan penderitaan yang sama. Tragisnya lagi hampir sebagian besar daripada korban adalah BMI perempuan.


Padahal, pada kenyataannya buruh migran perempuan memiliki peran ganda yakni sebagai tulang punggung ekonomi keluarga sekaligus dengan posisinya sebagai ibu rumah tangga. Keberadaan perempuan dalam rumah tangga telah tersistem dengan beban kewajiban kompleks  berlapis. Pun dengan resiko terdiskriminasi, ekploitasi dan kekerasan yang mengancam kapan saja. Buruh perempuan dihadapkan pada posisi sangat rentan dengan tanpa adanya payung perlindungan hukum kuat.


Gambaran di atas menunjukkan bahwa betapa kondisi yang dihadapi buruh migran perempuan baik dilihat dari persoalan gender dan kelas menimbulkan banyak bentuk ketidakadilan yang dapat berujung pada pelanggaran HAM. Kondisi ini diperparah dengan nihilnya  kesadaran negara melaksanakan tugas kewajiban melalui instansi migrasinya di luar negeri untuk menyediakan perlindungan yang memadai bagi pekerja migran. Sebuah bukti konkrit jika kebijakan-kebijakan yang dihasilkan selama ini hanya berpijak  pada orientasi bisnis semata, tanpa mau melihat lebih kritis dan spesifik terhadap masalah yang dialami dan dihadapi buruh migran perempuan.


Nilai-nilai yang terdapat dalam Konvensi Buruh Migran tahun 1990 mengenai  Perlindungan Buruh Migran dan keluarganya, seharusnya dapat dijadikan paradigma dan acuan anyar dalam menata ulang mekanisme perlindungan hak-hak asasi buruh migran pada umumnya, dan buruh migran perempuan pada khususnya. 
Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk segera mencabut UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri dan segera melakukan revisi keseluruhan isi UU yang tak sensitif buruh migran dan jender tersebut sesuai dengan standar perlindungan yang diatur dalam Konvensi PBB 1990.


Salah satu prinsip pokok yang  bisa diambil dari konvensi ini adalah jika perundang-undangan yang baru harus mengakomodir kepentingan buruh migran dan keluarga, benar-benar melindungi BMI dari fase pra keberangkatan, di negara tujuan hingga fase kepulangan.


Share this article :
 
Copyright © 2011. Copasindo - Back to Top
Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger